Social Icons

Pages

Wednesday, November 28, 2012

pengetahuan tentang sejarah


Kesultanan Pontianak
Sejarah Kebudayaan Keraton Pontianak


Kesultanan Kadriah berdiri pada tanggal 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H), yaitu pada masa kekuasaan Van Der Varra (1761-1775), Gubernur Jenderal VOC ke-29. Pendiri kesultanan ini adalah Syarif Abdurrahman Alkadrie, merupakan putra Habib Husein Alkadrie, ulama penyebar Islam di Pontianak asal Arab. Sejak usia muda, Syarif Abdurrahman telah menunjukkan bakat dan ambisinya yang sangat besar. Ia pernah melakukan petualangan hingga ke Siak dan Palembang, mengadakan kegiatan perdagangan di Banjarmasin, dan berperang hingga berhasil menghancurkan kapal Perancis di Pasir (Banjarmasin). Sejarah awal mula berdirinya kesultanan ini ditandai dengan keinginan Syarif Alkadrie dan saudara-saudaranya beserta para pengikutnya untuk mencari tempat tinggal setelah ayahnya meninggal pada tahun 1184 H di Kerajaan Mempawah. Dengan menggunakan 14 perahu mereka menyusuri Sungai Peniti hingga pada akhirnya mereka menetap di sebuah tanjung bernama Kelapa Tinggi Segedong. Namun, Syarif Alkadrie merasa bahwa tempat tersebut tidak tepat untuk didiami, dan akhirnya mereka melanjutkan perjalanan balik ke hulu sungai melalui Sungai Kapuas Kecil. Ketika menyusuri sungai tersebut rombongan Syarif Alkadrie menemukan sebuah pulau kecil bernama Batu Layang. Mereka kemudian singgah sejenak. Konon mereka pernah diganggu oleh hantu-hantu di sana yang menyebabkan Syarif Alkadrie meminta anggotanya untuk mengusirnya. Setelah itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas.Pada tanggal 23 Oktober1771 (14 Rajab 1184 H), tepatnya menjelang subuh, mereka akhirnya sampai di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Rombongan Syarif Alkadrie kemudian menebang pohon-pohon di hutan selama delapan hari guna keperluan membangun rumah, balai, dan sebagainya. Di tempat itulah Kesultanan Kadriah berdiri beserta Masjid Djami‘(yang telah berdiri sebelumnya) dan Keraton Pontianak (yang berdiri setelah berdirinya kesultanan).Pada tanggal 8 bulan Sya‘ban tahun 1192 H, Syarif Alkadrie akhirnya dinobatkan sebagai Sultan Pontianak (Kesultanan Kadriah) dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Alkadrie. Acara penobatan tersebut juga dihadiri oleh Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak, Kubu, dan Matan. Kesultanan ini merupakan kerajaan paling akhir yang ada di Kalimantan dan sebagai cikal bakal berdirinya Kota Pontianak. Setelah kesultanan Kadriah berakhir, sistem pemerintahan kesultanan secara otomatis berubah menjadi sistem pemerintahan Kota Pontianak.

Kesultanan Kadriah dipimpin oleh delapan sultan, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun 1950 sebagaimana berikut ini:
1. Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (1771-1808)
2. Sultan Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819)
3. Sultan Syarif Osman Alkadrie (1819-1855)
4. Sultan Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872)
5. Sultan Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895)
6. Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944)
7. Sultan Syarif Thaha Alkadrie (1944-1945)
8. Sultan Syarif Hamid II Alkadrie (1945-1950)

Periode Pemerintahan
Kesultanan ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun 1950. Selama kesultanan ini masih eksis terdapat delapan sultan yang pernah berkuasa. Ketika kesultanan ini berakhir pada tahun 1950, yaitu seiring dengan bergabungnya banyak daerah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sistem pemerintahan juga berubah menjadi pemerintahan Kota Pontianak.Pada tahun 1943-1945, pejuang-pejuang di Kalimantan Barat ikut berjuang melawan kolonialisme Jepang di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan pejuang-pejuang di Jawa dan Sumatera. Puncaknya, pada tanggal 16 Oktober 1943 terjadi pertemuan rahasia di Gedung Medan Sepakat Pontianak yang dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat dari berabagai golongan. Mereka bersepakat untuk merebut kekuasaan dari pemerintah kolonial Jepang dan mendirikan Negeri Rakyat Kalimantan Barat dengan lengkap 18 menterinya.Pada tanggal 8 Desember 1943, mereka kembali melakukan serangan terhadap Jepang. Oleh karena perjuangan mereka dapat disusupi, maka pada tanggal 23 Oktober 1943, terjadi penangkapan terhadap sejumlah tokoh di kalangan Indonesia, Cina, Arab, India, dan juga Jepang. Pada tanggal 24 Januari 1944 terjadi penangkapan periode kedua, yaitu Dr. Rubini dan istri, Demang Muslim Nataprana, dan semua raja di Kalimantan Barat, seperti Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan Muhammad Yusuf Alkadrie (Sultan Pontianak), Muhammad Ibrahim Tsafiuddin (Sultan Sambas), Sultan Hamid (Panembahan Ketapang), dan sebagainya.

Ketika Sultan Syarif Hamid II Alkadrie memerintah antara tahun 1945 hingga tahun 1950, banyak kontribusi yang diberikannya kepada Indonesia. Ketika sebagai Ketua Bizonder Federal Overlag (BFO) atau Pertemuan Musyawarah Federal pada tahun 1948, ia ikut menyerahkan kedaulatan dan pengakuan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari pemerintah kolonial Belanda. Sultan Hamid II adalah pembuat lambang negara, yaitu burung garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Pada masanya, Kesultanan Kadriah kemudian berubah menjadi Kota Pontianak. Berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 1956, Provinsi Kalimantan Barat ditetapkan sebagai daerah otonom dengan Pontianak sebagai ibukotanya. Kedudukan Kalimantan Barat sebagai provinsi otonom berlaku sejak tanggal 1 Januari 1957 hingga tahun 1993. Tanggal ini ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Kalimantan Barat. Setelah eksistensi Kesultanan Kadriah berakhir tidak ada lagi bekasnya, yang ada hanyalah peninggalan sejarahnya seperti berupa keraton yang kini dijadikan salah satu obyek wisata yang menarik di Kalimantan Barat.

Kehidupan Sosial-Budaya
Kesultanan Kadriah merupakan kerajaan terbesar di wilayah Kalimantan beserta kerajaan-kerajaan lain, seperti Kerajaan Sambas dan Kerajaan Banjar. Kesultanan Kadriah berkembang pesat karena didukung dengan adanya jalur pelayaran dan perdagangan yang menyebabkan banyaknya kapal nusantara dan asing yang datang ke pelabuhan tersebut untuk memasarkan berbagai jenis barang dagang. Di antara jenis barang yang dimaksud adalah: berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, pinang, sarang burung, kopra, lada, kelapa, dan sebagainya. Proses ini juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat yang kemudian banyak mengembangkan kegiatan ekonomi, pertanian, dan perdagangan.Tidak sedikit dari para pendatang yang kemudian bermukim di daerah ini. Setiap pendatang yang berasal dari suku bangsa yang berbeda diberikan tempat tersendiri untuk bermukim. Sehingga nama-nama daerah (kampung) lebih menunjukkan karakteristik ras dan etnisitas, seperti ada Kampung Bugis, Melayu, Tambelan Sampit, Banjar, Bali, Bangka-Belitung, Kuantan, Kamboja, Bansir, Saigon, Arab, Tanjung, Kapur, Parit Mayor, dan sebagainya. Adanya kampung-kampung tersebut menunjukkan bahwa komposisi masyarakat di Kesultanan Kadriah terdiri dari keturunan pribumi (termasuk Melayu), Arab, Cina, Eropa, dan sebagainya. Heterogenitas etnik merupakan ciri utama komposisi masyarakat di Kesultanan Kadriah (kini namanya Pontianak).

Masyarakat Pontianak dikelompokkan secara sosial berdasarkan identitas kesukuan, agama, dan ras. Pengelompokan berdasarkan suku, yaitu: pertama, komunitas suku Dayak yang tinggal di daerah pedalaman. Komunitas ini dikenal tertutup, lebih mengutamakan kesamaan dan kesatuan sosio-kultural. Kedua, komunitas Melayu, Bugis, dan Arab, yang dikenal sebagai penganut Islam terbesar di daerah ini yang lebih menekankan aspek sosio-historis sebagai kelas penguasa. Ketiga, imigran Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang dikenal sebagai satu kesatuan sosio-ekonomi. Di samping etnisitas, agama masyarakat Pontianak pun beragam. Suku Melayu umumnya banyak menganut Islam, suku Dayak banyak menganut ajaran animisme, dan suku imigran Cina biasanya banyak yang menganut selain keduanya. Suku dayak yang telah menganut agama Islam meninggalkan atau melepaskan identitas dirinya dan kemudian menjadi suku Melayu. Artinya bahwa selain terjadi proses Islamisasi di wilayah daratan Kalimantan Barat juga terjadi proses Melayunisasi, terutama terhadap suku Dayak non-Muslim. Perkembangan selanjutnya menandakan bahwa suku Melayu dapat memiliki kapasitas sebagai “pribumi asli” yang kedudukannya sama dengan suku Dayak. Hubungan antara etnisitas dan pegangan keyakinan keagamaan dalam kehidupan sosio-budaya masyarakat Pontianak dapat disimpulkan sebagai suatu hubungan di mana “penduduk yang bertetangga, serumpun, dan mempunyai latar belakang yang sama bisa akan jadi berbeda apabila mereka memasuki kelompok masyarakat berdasarkan agama yang dianutnya”.

A.Kerajaan Melayu 
Kerajaan Melayu yang dimaksud di sini adalah kerajaan yang pernah berdiri di kawasan Melayu, baik di Indonesia, maupun di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina dan Brunei. Kerajaan-kerajaan tersebut menggunakan dan mengembangkan kebudayaan Melayu di kawasan mereka. Ringkasnya, mereka menjadikan kebudayaan Melayu sebagai identitas budaya, ekonomi, sosial dan politik. Rentang masa yang cukup panjang, dan cakupan wilayah yang luas menjadikan kerajaan-kerajaan tersebut memiliki kekhasan tersendiri, walaupun mereka disatukan oleh satu rumpun kebudayaan yang sama: kebudayaan Melayu. 
B. Rumah Melayu Kalbar: Pesona Melayu di Pontianak 
Beberapa provinsi di Indonesia yang berakarbudaya Melayu, seperti Kalimantan Barat dan Riau, dan beberapa negara di kawasan Melayu, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam, sedang giat-giatnya berbenah, berusaha menjadi pusat kebudayaan Melayu. Meskipun rencana tersebut tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi dan politik, namun tetap saja menggembirakan, karena telah muncul kesadaran bahwa budaya merupakan unsur penting dalam kehidupan modern. Untuk mencapai cita-cita luhur itu, tentu saja, provinsi-provinsi dan negara-negara itu telah merumuskan langkah-langkah strategis dan anggaran dana yang besar. Pertanyaannya kemudian adalah, dapatkah mereka menggali dan mensosialisasikan nilai-nilai budaya Melayu sejalan dengan pembangunan fisiknya? Ada beberapa fenomena yang menarik untuk dicermati terkait dengan rencana menjadikan budaya Melayu sebagai identitas utama di beberapa daerah di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Perjalanan MelayuOnline.com ke Pontianak, Mempawah, Sambas, Kuching, dan Brunei Darussalam selama lima hari, secara sekilas (dan mungkin subyektif), menangkap perkembangan rencana besar di masing-masing daerah tersebut. Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui Kalimantan Barat dan Filipina dengan mempergunakan angin musim.
Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok dalam Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah.
Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat. Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut.
C.Sejak Abad 17
Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan). Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbullah Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.
Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.
Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man. Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati).

D.Sejak Abad 18
Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong. Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000 undang-undang . Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas karena pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong. Perang ini oleh rakyat Sambas disebut juga Perang Tengku Sambo.
Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas.
Tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi Belanda di Pontianak.
Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina. Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap belanda karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado.
Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi.
Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat.
E.Setelah Abad 18
Tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda. Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut. Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat.
Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.


semoga apa yang disampaikan diatas bisa menambah wawasan kita dan untuk menjaga kelestarian sastra pada daerah kita. terima kasih.

1 comment:

  1. Silsilah Kesultanan Pontianak perlu ditulis sesuai dengan Nashab agar nyambung Contoh : 1. Sultan Syarif Abdurahman bin Alhabib Husein Bin Syarif Ahmad Alkadrie. 2. Sultan Syarif Kasim bin Sultan Syarif Abdurahman Alkadrie bin Alhabib Husein Alkadrie.3. Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurahman Alkadrie bin Alhabibab Husein Alkadrie. 4. Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurahman Alkadrie. 5. Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie. 6. Sultan Syarif Mohamad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie. 7. Sultan Syarif Hamid.II Alkadrie bin Sultan Syarif Mohamad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie.

    ReplyDelete

 

Sample text

Sample Text

Terima Kasih Telah Mengunjungi blog saya

Sample Text